Mendung seakan belum sirna bagi para penjahit seperti Deni (36). Pemilik Rees Tailor di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, itu masih harus berhemat lantaran aneka jenis harga barang naik, sementara ongkos jahit tidak bisa dinaikkan. ”Sudah dua tahun terakhir, ongkos jahit tidak naik. Ya, bagaimana mau menaikkan ongkos, wong dengan ongkos yang ada sekarang saja sudah banyak pelanggan yang kabur,” kata Deni.
Pria yang sudah menjadi penjahit sejak tahun 1997 itu memungut Rp 75.000 untuk ongkos menjahit celana panjang, Rp 70.000 untuk kemeja, dan Rp 750.000 untuk jas. Biaya itu belum termasuk harga kain yang akan dijahit. Dengan kondisi itu, produk jahitan dari penjahit Deni harus bersaing dengan pakaian jadi produk industri besar yang harganya semakin murah (Kursus Menjahit)
Apalagi kalau harus diadu dengan harga jual pakaian jadi dari mancanegara yang kini kian menyesaki pasar di dalam negeri. Produk yang masuk itu bukan hanya pakaian baru berharga murah, tetapi juga pakaian bekas impor yang terus membanjiri sejumlah pasar hingga pusat perbelanjaan di
Oleh sebab itu, langganan yang pergi bukan lagi hal aneh bagi mereka. Begitupun ketika langganan yang biasa menjahitkan baju dalam jumlah besar, kemudian mengurangi pesanan mereka. Biasanya mereka bisa mendapatkan pesanan 3-5 jahitan celana dalam sepekan, kini jauh di bawah itu.
Kini para penjahit terpaksa mengencangkan ikat pinggang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan pelbagai jenis pengeluaran. Pengurangan jumlah tenaga kerja hingga penyempitan ruang kerja sudah dilakukan. Deni, misalnya, sejak tahun 2005 telah menyekat rumah yang dijadikan tempat usaha menjahit tinggal menjadi seperempat ruang. Tiga perempat bagian lainnya dikontrakkan kepada pengusaha konfeksi tas.
Sempat terlintas di benak para penjahit itu untuk mengubah usaha mereka dari penjahit menjadi pengusaha konfeksi, tetapi mereka terbentur dengan modal dan upaya pemasaran produk konfeksi. Namun hal ini tak mengurangi semagat beberapa orang untuk ikut Kursus Menjahit.
Akhirnya, penjahit seperti Deni, Syafi’i, dan Lusi hanya bisa bertahan di tengah gempuran pakaian jadi dengan kondisi seperti saat ini. Satu-satunya andalan para penjahit untuk bertarung di pasar pakaian yang semakin padat ini adalah kerapian jahitan serta kenyamanan pakaian yang dikenakan.
Inilah nasib para penjahit di era pasar bebas. Mereka hidup tanpa perlindungan sama sekali di rimba yang berslogankan ”Yang Kuat, Yang Menang” meskipun mereka berpeluang untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri.
cetak.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar