Setelah mampu menerjemahkan buku (umum) dengan baik, seorang penerjemah novel harus membekali diri dengan keterampilan menulis yang prima. Menerjemahkan novel bisa dikatakan “setengah mengarang.” Lebih dari penerjemah buku biasa walaupun menggunakan new translation methods, penerjemah novel harus pandai mengolah kata-kata agar pembaca bisa terhanyut menikmati novel yang dibacanya. Biasanya, bahasa yang digunakan pengarang novel itu khas, berbeda antara satu pengarang dan pengarang lainnya. Penerjemah novel harus bisa mengikuti
Contohnya:
1. Cormac McCarthy. Pengarang buku No Country for Old Men yang telah difilmkan dan filmnya memborong piala Oscar 2008 ini tidak menggunakan bahasa Inggris “yang baik dan benar” ketika menulis. Dengan demikian penerjemah harus bisa mengadaptasinya dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baku juga, agar tercipta atmosfir seperti yang tertuang dalam novel aslinya.
2. Kochka dalam The Boy Who Ate Stars. Penutur dalam novel ini, Lucy, adalah seorang anak usia 12 tahun, bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan seorang anak autis. Bahasa yang digunakannya sesuai dengan bahasa khas anak ABG.
3. E.L. Doctorow, misalnya dalam The March. Pengarang ini suka menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan banyak koma dan titik-koma. Meskipun membaca kalimat-kalimat semacam itu melelahkan, penerjemah harus setia mengikuti gayanya, agar nuansa yang ingin ditampilkan pengarang tetap bisa ditangkap pembaca.
Dengan bekal kiat-kiat di atas, sebenarnya seorang penerjemah sudah bisa menghasilkan terjemahan novel yang baik.
Namun dalam praktiknya, sering timbul berbagai pertanyaan, misalnya:
1. Menerjemahkan struktur kalimat yang panjang dan mbulet, bagaimana caranya? Dengan menangkap maksud kalimat tersebut, dan mengungkapkannya sesuai dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia yang bisa menampilkan gaya mbulet dari sang pengarang.
2. Bagaimana memertahankan suspense, konflik batin, dll? Dengan resep yang sama. Pengarang pasti punya cara khas untuk menampilkan semua itu. Jadi, sebagai penerjemah kita mengikuti saja alur yang telah dibuat pengarang.
3. Bagaimana menerjemahkan deskripsi yang terkait budaya dan waktu? Perlukah memberi penjelasan? Ya, tetapi sebaiknya pada bagian yang lain, sehingga tidak mengganggu pembaca saat menikmati sebuah novel . Misalnya memberi keterangan tentang setting masa terjadinya cerita atau latar belakang sejarah suatu peristiwa.
4. Bagaimana memertahankan atau menerjemahkan cara tutur yang khas tempat dan waktu? Misalnya cara tutur orang hitam zaman dulu (The Color Purple). Harus dicari cara yang tepat untuk menunjukkan bahwa seorang tokoh berasal dari strata masyarakat tertentu. Ini tantangan yang berat bagi penerjemah.
5. Bagaimana menyikapi uraian atau adegan yang menurut Anda kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia? Menerjemahkan apa adanya? Menghaluskan? Apa pertimbangannya? Tergantung. Kalau adegan yang ditampilkan terlalu menggangu perasaan pembaca, penerjemah boleh menghaluskannya.
blog.bahtera.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar